Friday 4 May 2007

"A Watchful Eye": The Meccan Plot of 1881 and Changing Dutch Perception of Islam in Indonesia

Artikel karya Michael F. Laffan yang ditulis dalam bulettin Archipel 63 edisi tahun 2002 ini berisi mengenai perubahan persepsi atau pandangan pemerintah kolonial Belanda mengenai Islam di Indonesia terutama pasca pembukaan terusan suez tahun 1869. pembukaan terusan suez telah menandai era baru dalam dunia perdagangan terutama antara daratan Eropa dengan wilayah di Timur Jauh atau Asia.
Pembukaan terusan suez ini telah membuat jalur pelayaran perdagangan menjadi lebih pendek daripada ketika para penjelajah Eropa pertama kali melakukan ekspedisi ke dunia timur yang kemudian menjadikan daerah ini menjadi wilayah pelayaran perdagangan yang penting selain selat malaka di Asia Tengara.
Pembukaan Terusan Suez ini selain menguntungkan bagi dunia perdagangan Asia Eropa ternyata juga merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya kaum perompak yang kemudian menghuni wilayah jalur-jalur penting sepanjang alur terusan suez-Asia Tenggara seperti samudra Hindia dan Selat Malaka.
Kemunculan para perompak yang tumbuh subur bak cendawan di musim hujan ini tentu saja membuat resah kalangan pedagang Eropa dan Asia yang merasa berkepentingan dengan jalur perdagangan tersebut, terlebih para perompak itu tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara kekerasan. untuk mengatasi hal ini pihak pemerintah kolonial mengantisipasi dengan lebih menggiatkan kegiatan patroli yang terlebih lagi dalam hal ini pemerintah kolonial juga dihantui oleh kegiatan kampanye perang sabil yang dilakukan oleh Kerajaan Islam Aceh di Sumatra yang telah lama menjadi musuh bebuyutan bagi kepentingan-kepentingan pemerintah.
Pembukaan terusan Suez di Asia Barat yang diikuti dengan meningkatnya volume perdagangan antara Eropa Asia maupun sebaliknya ternyata juga berdampak positif bagi kegiatan religi dan keagamaan terutama masyarakat muslim yaitu terbukanya kesempatan untuk menunaikan ibadah Haji.
Kesempatan untuk menunaikan ibadah Haji ini dimanfaatkan betul-betul oleh masyarakat muslim lokal pada saat itu yang kemudian melahirkan golongan baru dalam masyarakat pribumi yaitu golongan kyai yang pernah menimba ilmu di tanah suci sehingga dianggap memiliki ilmu keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat muslim pada umumnya.
Kemunculan kaum haji, yang merupakan istilah atau julukan ynag diberikan oleh masyarakat kepada orang yang telah berhasil kembali dari menunaikan ibadah Haji di tanah suci melahirkan kelompok keagamaan dengan ajaran-ajaran yang baru yang dibawa dari tanah Arab yaitu golongan masyarakat wahabi serta para ulama. dibeberapa tempat seperti di Sumatra, peranan para ulama ini sangat tinggi dan bahkan mengalahkan pengaruh dari raja atau sultan dalam beberapa bidang.
Hal ini dikarenakan adanya fakta bahwa selama ini, sebelum terbukanya kesrempatan untuk menunaikan Ibadah Haji, masyarakat muslim di Indonesia "hanya" memperoleh pengetahuan mengenai agama Islam dari para penjelajah baik itu dari Gujarat, Persia maupun arab yang kebetulan sedang mengadakan perjalanan bisnis ke Nusantara. terbukanya kesempatan itu berarti telah memberikan peluang bagi masyarakat muslim di Nusantara untuk menimba dan mendalami ilmu Islam di tanah asalnya, yang kemudian ditransfer dengan baik kepada masyarakat lokal di Nusantara sehingga memperoleh sambutan positif diantaranya adalah adanya rasa hormat yang tinggi dari masyarakat.
Peranan para ulama yang yang sangat tinggi di masyarakat sangat dirasakan oleh pemerintah kolonial terutama dalam kampanye kekuasaan mereka atas Kerajaan Aceh. di tanah Aceh, kedudukan Sultan ternyata tidak lebih daripada sebuah simbol kekuasaan, yang dibuktikan ketika sekalipun tentara Belanda mampu menawan keluarga kerajaan serta membakar masjid raya namun hal itu ternyata tidak menyurutkan perlawanan para pemberontak.
Untuk menghadapi hal inipemerintah kolonial kemudian terpaksa menugaskan Doktor Snouck Hurgronje, seorang pakar bidang teologi dan antroologi terutama dalam hal masyarakat Islam untuk menyelidiki struktur sosial masyarakat Aceh. penunjukan Snouck Hurgronje ini bukan tanpa alasan karena dia merupakan orang Eropa yang pernah berkunjung ke Mekkah dengan nama samaran Abdul Gafar dan berhasil mendalami Islam serta struktur-strukturnya. di Aceh ini dia kemudian ikut membaur dalam kegiatan keseharian masyarakat Aceh mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali,dan dia kemudian menemukan fakta menarik bahwa struktur masyarakat Aceh tidak terpaku pada kewibawaan Sultan melainkan ada pada sosok para ulama di bawah dan struktur ini menekankan bahwa mereka sama sekali tidak terpaku pada satu figur melainkan banyak figur yang sangat sulit untuk ditumpas dengan kekerasan. Dia kemudian memberikan saran-saran yang
berharga dan berarti bagi perkembangan kampanye kolonial di Aceh diantaranya adalah melakukan pendekatan psikologis untuk merusak sistem tersebut dan terbukti berhasil hingga dikuasainya Aceh pada abad 20.


Tugas Sejarah Kebudayaan Perancis.

Aji Prabowo
04/175936/SA/13108
Sejarah 2004

No comments: