Monday 14 November 2011

(Cara Baru) Pemilihan Presiden 1

Sebagai negara demokrasi sudah sepantasnya untuk mengadakan suatu pemilihan presiden sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. Hanya saja dalam pelaksanaannya, pemilihan presiden terutama di lingkungan politik nasional yang multi partai sangat rentan terhadap bentuk-bentuk ketidak efektifan yang berujung pada munculnya "public oriented", "money politics", "black campaigns" dan sebagainya yang kesemuanya akan membawa dampak negatif antara lain mandegnya regenerasi, minimnya calon berkualitas, bias tanggung jawab kepala negara hingga munculnya konflik horizontal di dalam masyarakat.
Oleh karena itu perlu diadakan suatu bentuk baru pemilihan presiden, tidak lagi dengan mengandalkan calon-calon yang diusulkan oleh partai politik melainkan dengan mekanisme ujian yang dilakukan dengan 8 tahapan tes yang diselenggarakan oleh Badan Pemilihan Presiden, yang beranggotakan 200 orang senior dari beragam bidang yang berada di bawah pengawasan langsung intelijen negara untuk menghindari kontak dengan dunia luar.Persyaratan bagi para capres antara lain setidaknya pernah menjadi gubernur minimal 1 periode dengan klasifikasi A, tidak terlibat secara aktif atau pasif dalam partai politik, memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan mau menanggung seluruh biaya test secara mandiri serta bersedia diperiksa secara menyeluruh dan berkala oleh BPK dan KPK.


Friday 4 May 2007

"A Watchful Eye": The Meccan Plot of 1881 and Changing Dutch Perception of Islam in Indonesia

Artikel karya Michael F. Laffan yang ditulis dalam bulettin Archipel 63 edisi tahun 2002 ini berisi mengenai perubahan persepsi atau pandangan pemerintah kolonial Belanda mengenai Islam di Indonesia terutama pasca pembukaan terusan suez tahun 1869. pembukaan terusan suez telah menandai era baru dalam dunia perdagangan terutama antara daratan Eropa dengan wilayah di Timur Jauh atau Asia.
Pembukaan terusan suez ini telah membuat jalur pelayaran perdagangan menjadi lebih pendek daripada ketika para penjelajah Eropa pertama kali melakukan ekspedisi ke dunia timur yang kemudian menjadikan daerah ini menjadi wilayah pelayaran perdagangan yang penting selain selat malaka di Asia Tengara.
Pembukaan Terusan Suez ini selain menguntungkan bagi dunia perdagangan Asia Eropa ternyata juga merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya kaum perompak yang kemudian menghuni wilayah jalur-jalur penting sepanjang alur terusan suez-Asia Tenggara seperti samudra Hindia dan Selat Malaka.
Kemunculan para perompak yang tumbuh subur bak cendawan di musim hujan ini tentu saja membuat resah kalangan pedagang Eropa dan Asia yang merasa berkepentingan dengan jalur perdagangan tersebut, terlebih para perompak itu tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara kekerasan. untuk mengatasi hal ini pihak pemerintah kolonial mengantisipasi dengan lebih menggiatkan kegiatan patroli yang terlebih lagi dalam hal ini pemerintah kolonial juga dihantui oleh kegiatan kampanye perang sabil yang dilakukan oleh Kerajaan Islam Aceh di Sumatra yang telah lama menjadi musuh bebuyutan bagi kepentingan-kepentingan pemerintah.
Pembukaan terusan Suez di Asia Barat yang diikuti dengan meningkatnya volume perdagangan antara Eropa Asia maupun sebaliknya ternyata juga berdampak positif bagi kegiatan religi dan keagamaan terutama masyarakat muslim yaitu terbukanya kesempatan untuk menunaikan ibadah Haji.
Kesempatan untuk menunaikan ibadah Haji ini dimanfaatkan betul-betul oleh masyarakat muslim lokal pada saat itu yang kemudian melahirkan golongan baru dalam masyarakat pribumi yaitu golongan kyai yang pernah menimba ilmu di tanah suci sehingga dianggap memiliki ilmu keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat muslim pada umumnya.
Kemunculan kaum haji, yang merupakan istilah atau julukan ynag diberikan oleh masyarakat kepada orang yang telah berhasil kembali dari menunaikan ibadah Haji di tanah suci melahirkan kelompok keagamaan dengan ajaran-ajaran yang baru yang dibawa dari tanah Arab yaitu golongan masyarakat wahabi serta para ulama. dibeberapa tempat seperti di Sumatra, peranan para ulama ini sangat tinggi dan bahkan mengalahkan pengaruh dari raja atau sultan dalam beberapa bidang.
Hal ini dikarenakan adanya fakta bahwa selama ini, sebelum terbukanya kesrempatan untuk menunaikan Ibadah Haji, masyarakat muslim di Indonesia "hanya" memperoleh pengetahuan mengenai agama Islam dari para penjelajah baik itu dari Gujarat, Persia maupun arab yang kebetulan sedang mengadakan perjalanan bisnis ke Nusantara. terbukanya kesempatan itu berarti telah memberikan peluang bagi masyarakat muslim di Nusantara untuk menimba dan mendalami ilmu Islam di tanah asalnya, yang kemudian ditransfer dengan baik kepada masyarakat lokal di Nusantara sehingga memperoleh sambutan positif diantaranya adalah adanya rasa hormat yang tinggi dari masyarakat.
Peranan para ulama yang yang sangat tinggi di masyarakat sangat dirasakan oleh pemerintah kolonial terutama dalam kampanye kekuasaan mereka atas Kerajaan Aceh. di tanah Aceh, kedudukan Sultan ternyata tidak lebih daripada sebuah simbol kekuasaan, yang dibuktikan ketika sekalipun tentara Belanda mampu menawan keluarga kerajaan serta membakar masjid raya namun hal itu ternyata tidak menyurutkan perlawanan para pemberontak.
Untuk menghadapi hal inipemerintah kolonial kemudian terpaksa menugaskan Doktor Snouck Hurgronje, seorang pakar bidang teologi dan antroologi terutama dalam hal masyarakat Islam untuk menyelidiki struktur sosial masyarakat Aceh. penunjukan Snouck Hurgronje ini bukan tanpa alasan karena dia merupakan orang Eropa yang pernah berkunjung ke Mekkah dengan nama samaran Abdul Gafar dan berhasil mendalami Islam serta struktur-strukturnya. di Aceh ini dia kemudian ikut membaur dalam kegiatan keseharian masyarakat Aceh mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali,dan dia kemudian menemukan fakta menarik bahwa struktur masyarakat Aceh tidak terpaku pada kewibawaan Sultan melainkan ada pada sosok para ulama di bawah dan struktur ini menekankan bahwa mereka sama sekali tidak terpaku pada satu figur melainkan banyak figur yang sangat sulit untuk ditumpas dengan kekerasan. Dia kemudian memberikan saran-saran yang
berharga dan berarti bagi perkembangan kampanye kolonial di Aceh diantaranya adalah melakukan pendekatan psikologis untuk merusak sistem tersebut dan terbukti berhasil hingga dikuasainya Aceh pada abad 20.


Tugas Sejarah Kebudayaan Perancis.

Aji Prabowo
04/175936/SA/13108
Sejarah 2004

Monday 30 April 2007

PEMILU 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga menjawab pertanyaan tersebut.

Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.



Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.



Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.


Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal :

1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu;

2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.

Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.



Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).



Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.


Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.



Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.



Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.



Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.



No.
Partai/Nama Daftar
Suara
%
Kursi

1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57

2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57

3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45

4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39

5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.091.160
2,89
8

6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
1.003.326
2,66
8

7.
Partai Katolik
770.740
2,04
6

8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
1,99
5

9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
541.306
1,43
4

10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
483.014
1,28
4

11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
242.125
0,64
2

12.
Partai Buruh
224.167
0,59
2

13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
219.985
0,58
2

14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
206.161
0,55
2

15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
200.419
0,53
2

16.
Murba
199.588
0,53
2

17.
Baperki
178.887
0,47
1

18.
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
178.481
0,47
1

19.
Grinda
154.792
0,41
1

20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
149.287
0,40
1

21.
Persatuan Daya (PD)
146.054
0,39
1

22.
PIR Hazairin
114.644
0,30
1

23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
85.131
0,22
1

24.
AKUI
81.454
0,21
1

25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
77.919
0,21
1

26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
72.523
0,19
1

27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
64.514
0,17
1

28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
0,14
1

29.
Lain-lain
1.022.433
2,71
-

Jumlah
37.785.299
100,00
257




Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:



Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.



No.
Partai/Nama Daftar
Suara
%
Kursi

1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
9.070.218
23,97
119

2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112

3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.989.333
18,47
91

4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.232.512
16,47
80

5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.059.922
2,80
16

6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
988.810
2,61
16

7.
Partai Katolik
748.591
1,99
10

8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
695.932
1,84
10

9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
544.803
1,44
8

10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
465.359
1,23
7

11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
220.652
0,58
3

12.
Partai Buruh
332.047
0,88
5

13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
152.892
0,40
2

14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
134.011
0,35
2

15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
179.346
0,47
3

16.
Murba
248.633
0,66
4

17.
Baperki
160.456
0,42
2

18.
Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
162.420
0,43
2

19.
Grinda
157.976
0,42
2

20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
164.386
0,43
2


21.
Persatuan Daya (PD)
169.222
0,45
3


22.
PIR Hazairin
101.509
0,27
2


23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
74.913
0,20
1


24.
AKUI
84.862
0,22
1


25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
39.278
0,10
1


26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
143.907
0,38
2


27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
55.844
0,15
1


28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
38.356
0,10
1


29.
Gerakan Pilihan Sunda
35.035
0,09
1


30.
Partai Tani Indonesia
30.060
0,08
1


31.
Radja Keprabonan
33.660
0,09
1


32.
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
39.874
0,11



33.
PIR NTB
33.823
0,09
1


34.
L.M.Idrus Effendi
31.988
0,08
1



lain-lain
426.856
1,13



Jumlah
37.837.105

514







Periode Demokrasi Terpimpin.



Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.



Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang – meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.



Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.



Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemi-lihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.



Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.

sumber : http://www.kpu.go.id/Sejarah/pemilu1955.shtml

Wednesday 11 April 2007

ANTARA RUPIAH DAN BAKTERI

Pekerjaan merupakan salah satu kebutuhan mutlak bagi manusia dalam mengarungi ganasnya kehidupan dunia. Berbagai macam cara dilakukan untuk mengais rupiah mulai dari melakukan berbagi pekerjaan serabutan, berhutang, bahkan tak jarang diantara mereka yang menghalalkan segala macam cara termasuk melakukan berbagai pekerjaan kotor yang diharamkan baik oleh agama maupun negara.
Ditengah-tengah keberagaman pekerjaan tersebut, jarang diantara kita yang melirik keberadaan para tukang sapu (petugas kebersihan kota) atau yang sering disebut dengan julukan “pasukan kuning”. Keberadaan para “pasukan kuning” tersebut memang jarang terekspos karena waktu pekerjaan yang mungkin tidak lumrah untuk ukuran manusia normal, yaitu sekitar pukul 2 dinihari ketika kita masih terlelap tidur hingga sekitar pukul 7 pagi ketika kita sudah beraktifitas, sehingga sering kita melihat jalanan yang kotor dan kumuh dimalam hari namun tiba-tiba menjadi bersih pada pagi harinya.
Dengan kondisi seperti itu tak jarang diantara kita yang (mungkin) masih belum mengetahui berbagai macam suka duka yang dialami oleh para anggota “pasukan kuning” berkaitan dengan pekerjaan mereka. Dalam melakukan pekerjaan tersebut memang mereka terpaksa mengorbankan banyak kepentingan pribadi seperti waktu istirahat, keluarga bahkan kesehatan dan keselamatan mereka demi memperoleh rupiah yang jumlahnya tidak seberapa.
Ditengah kondisi yang kurang diakui oleh sebagian masyarakat, keberadaan para “pasukan kuning” ini memang sangat diperlukan terutama ketika musim adipura tiba. Ketika musim adipura terjadi pengerahan anggota untuk melakukan kegiatan pembersihan terutama pada titik-titik yang diperkirakan akan dijadikan lokasi penilaian.
Untuk mengejar target memperoleh adipura, tak jarang mereka terpaksa melakukan kerja lembur dari dini hari hingga sore harinya, mulai dari sekedar melakukan survey hingga memunguti sampah-sampah yang berserakan dijalan. Memang dalam melakukan kegiatan tersebut mereka jarang atau bahkan hampir tidak pernah menikmati gelimpangan rupiah sebagai bonus apabila adipura berhasil diraih, namun pada dasarnya mereka melakukan pekerjaan ini sebagai rasa tanggung jawab atas pekerjaan mereka maupun kewajiban mereka sebagai sumber nafkah keluarga.
Meskipun memiliki fungsi yang penting dalam struktur kehidupan di lingkungan perkotaan, akan tetapi banyak kalangan masyarakat yang memiliki anggapan miring mengenai pekerjaan sebagai tukang sapu jalan ini. Anggapan miring masyarakat ini pada dasarnya didasari oleh kondisi yang berkembang di lapangan yaitu seringnya para petugas berinteraksi atau melakukan kontak langsung dengan sampah.
Kondisi diatas secara tidak langsung memunculkan anggapan bahwa kehidupan para petugas kebersihan kota ini tidak jauh dari kesan kumuh, meskipun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dapat dikatakan bahwa menjadi seorang petugas kebersihan kota bisa memiliki dua wajah kehidupan yang kedua-duanya sangat bertolak belakang, yaitu kehidupan yang kumuh dan kotor ketika bekerja disatu sisi serta kehidupan yang bersih dan bersahaja disisi lain.
Disisi lain, dengan menjadi seorang petugas kebersihan kota kita bisa menemukan sisi lain dari berbagai keunikan dunia malam terutama di Kota Yogyakarta. Kehidupan dunia malam yang identik dengan gaya glamour, minuman keras dan prostitusi akan menampakkan wajah uniknya ketika waktu beranjak pagi.
Berbagai kenikmatan duniawi yang tersaji lengkap pada saat itu merupakan hiburan tersendiri bagi para petugas kebersihan, terutama dalam menghadapi hari-hari yang membosankan ditengah kepungan udara dingin dan bau busuk sampah yang menusuk hidung. Meskipun merupakan hiburan yang cukup nyaman bagi mereka namun kegiatan tersebut juga bukan tanpa resiko mengingat kehidupan dunia malam yang keras, tak jarang diantara mereka harus berurusan dengan preman setempat karena kesalah pahaman.
Hal lain yang memunculkan keunikan ditengah-tengah kehidupan para petugas kebersihan ini adalah tingginya rasa kekeluargaan diantara mereka, tidak hanya diantara sesama para petugas kebersihan saja akan tetapi juga diantara para petugas dengan pedagang kaki lima, komunitas punkers jalanan hingga para polisi lalu lintas.
Rasa kebersamaan dan kekeluargaan ini biasanya muncul secara spontan, dan terjalin karena adanya kebiasaan untuk saling menyapa diantara mereka yang kemudian dilanjutkan dengan perkenalan dan interaksi seperti sekedar ngobrol, maupun bertukar cerita dan pengalaman. Rasa kekeluargaan yang tercipta ini setidaknya telah memberikan rasa aman dibenak para petugas kebersihan ini serta dapat sejenak memberikan ketenangan batin karena jauh dari sanak keluarga serta sebagai pengganti kehidupan sosial yang hilang.
Rasa kekeluargaan yang terjalin ini tampak semakin kental manakala beberapa tahun yang lalu ketika salah satu diantara rekan mereka meninggal dunia karena kecelakaan saat bertugas, seluruh aktivitas kegiatan kebersihan terutama pada jam siang berhenti sementara karena para petugas yang bertanggung jawab serentak melayat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Jika kita melihat dan membandingkan antara penghasilan yang mereka peroleh dari membersihkan jalan setiap hari dengan resiko yang mereka alami saat menjalankan tugas sungguh amat miris mengetahui kenyataan bahwa penghasilan mereka ternyata sangat jauh dari cukup dan sangat tidak sebanding dengan resiko yang mereka hadapi, namun apa yang mereka lakukan semata-mata hanyalah sebagai usaha untuk menjaga agar dapur tetap mengepul sekalipun itu harus dihargai dengan resiko yang setiap saat mengintai dibalik pekerjaan mereka.
Sangat tidak bijak apabila kita melihat kelakuan para anggota dewan yang masih saja meributkan tentang masalah kenaikan gaji serta pengadaan laptop tanpa melihat realita kehidupan masyarakat kecil yang masih saja meski bergelimpangan dengan penyakit dan maut hanya demi meraup secuil rupiah dan tentu saja sangat jauh jika dibandingkan dengan gaji standar seorang anggota dewan.
Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh membandingkan dengan anggota dewan jika kita ingin sedikit menghargai perjuangan dan dedikasi para petugas kebersihan kota dalam menjaga dan merawat kebersihan kota ini, hal itu tentu saja dengan melihat pada diri kita sendiri sudahkah kita ikut menjaga kebersihan dan ketertiban kota ini?
Jika kita mau untuk melihat dengan kenyataan dan kesadaran hati, tentu dengan sangat bijak kita akan berkata belum, hal ini tentu sangat wajar bahwa banyak diantara kita yang masih membuang sampah seenaknya di jalanan tanpa memperhatikan dan peduli bahwa ada orang lain yang nantinya cukup direpotkan dengan ulah kita tersebut, atau mungkin ada diantara kita yang baik sadar maupun tidak, pernah menghardik seseorang atau mungkin beberapa orang petugas kebersihan yang kita anggap nggriseni atau mengganggu pemandangan kita, cobalah untuk lebih menghargai pekerjaan dan dedikasi mereka karena siapa tahu justru merekalah yang mungkin membersihkan segala sampah yang kita hasilkan.

Thursday 22 March 2007

Sexualitas

Dalam buku Seks dan Kekuasaan (Sejarah Kekuasaan) karya Michel Foucault, pada dasarnya sebelum berkembangnya masa victorian atau sekitar abad 17, merupakan masa dimana masyarakat belum mentabukan segala hal yang berkaitan dengan seksualitas. masyarakat yang relatif terbuka pada masa itu melakukan bebagai aktifitas dengan melontarkan aneka kata dan perilaku yang "bernada" seksual merupakan suatu hal yang biasa.
Keadaan berubah ketika muncul periode kekuasaan victorian, dimana kekuasaan kerajaan yang kaku dan puritan telah merenggut kebebasan yang ada dengan merubah kondisi masyarakat yang bebas menjadi tertutup dan munafik, ketika masalah seksual dijadikan hal yang tabu dan tertutup atau dibicarakan sebagai topik rumahan serta anak-anak diharuskan untuk menutup mata dan telinga mereka terhadap aneka masalah yang berhubungan dengan seksualitas.
Masalah seksualitas yang ditabukan telah memunculkan ciri khas represi yang kemudian membedakannya dengan larangan hukum dimana represi yang berfungsi sebagai keputusan hukum (seks harus dihilangkan), akan tetapi juga sebagai perintah untuk bungkam (seks dinyatakan tidak ada). akibat yang terjadi dari hal tersebut adalah tidak ada gunanya lagi kita membicarakan masalah seksualitas, menonton atau mempelajarinya.
Ketika kita merasa tidak perlu lagi mempelajari, membicarakan dan menonton seksualitas maka yang muncul kemudian adalah kemunafikan karena tetap saja kita akan membicarakan hal tersebut meskipun secara tersembunyi, dan menurut Foucault kemunafikan yang timbul-pun tetap saja menerima beberapa kompromi seperti memindahkan "kegaduhan" aktifitas seksual ke tempat lain yang dapat diterima seperti tempat prostitusi, streaptease maupun rumah-rumah sakit jiwa yang menampung sebagian besar pelaku seksual mulai dari pelacur, mucikari, pelanggan psikiater dan sebagainya.
Pada intinya segala sesuatu yang berhubungan dengan nurani seseorang memang akan sulit untuk dikekang karena pada dasarnya akan memunculkan sebuah sikap "perlawanan" manakala kita memang akan sangat perlu untuk membicarakan hal tersebut, selain itu pengekangan bukanlah sebuah solusi terbaik untuk menghentikan sebuah masalah karena hanya akan memunculkan masalah baru yang tak kalah kompleksnya.

Tuesday 27 February 2007

SEJARAH PANJANG PEPERANGAN I

Perang merupakan salah satu warisan budaya manusia yang selalu terjadi hampir setiap tahun. Bagi sebagian besar orang, perang merupakan kegiatan keji yang hanya menghasilkan penderitaan, kemerosotan ekonomi dan sosial, serta kehancuran fisik dan mental yang butuh waktu lama untuk memulihkannya seperti sedia kala, akan tetapi bagi sebagian kecil orang, perang merupakan sebuah warisan mahakarya seni yang memiliki proses evolusinya sendiri.
Pada dasarnya, berdasarkan caranya perang dapat dibagi menjadi dua yaitu perang konvensional dan non-konvensional.
Perang konvensional merupakan perang yang paling sering kita saksikan, tidak jelas sejak kapan manusia mulai mengenal perang jenis ini, akan tetapi jika kita mengacu pada Al Quran, maka akan jelas bahwa pertama kali terjadi perang dunia adalah ketika Qabil membunuh saudaranya yang benama Habil hanya karena masalah perjodohan. Perang konvensional-pun masih dapat kita bagi menjadi beberapa bagian yaitu;
I. Perang Kuno
Perang ini merupakan jenis perang yang pertama kali dikenal manusia, dengan ciri-ciri pihak yang bertikai yaitu antar dua orang atau lebih saling bertemu secara jantan di tempat tertentu kemudian bertarung untuk menunaikan masalah hingga salah satu diantaranya menyerah kalah atau mati. Cara perang seperti ini merupakan cara perang yang dianggap paling ksatria yng dikenal dengan nama perang tanding atau duel.
pada abad pertengahan cara perang seperti ini cukup populer untuk menyelesaikan masalah diantara dua orang terhormat dengan cara adu pedang, atau dengan cara saling beradu revolver dengan jarak tertentu pada zaman cowboy, akan tetapi cara perang terhormat seperti ini kemudian hanya dijadikan semacam "simbol kehormatan" antar bangsawan manakala kemudian dikenal sistem pengkoordinasian massa kedalam suatu bentuk pasukan reguler yang kemudian dijadikan sarana atau alat untuk berperang.

II. Perang Semi Statis
perang ini disebut semi statis karena adanya pihak yang dinamis disatu sisi (sebagai pihak penyerang atau pengepung) dan pihak yang statis disisi lain (sebagai pihak yng mempertahankan benteng atau kota).
Perang ini terjadi ketika manusia mulai mengenal pengkoordinasian pasukan dan mulai meninggalkan bentuk perang tradisional, yang kemudian disertai pula dengan pembuatan benteng untuk sarana pertahanan. Ciri dari perang seperti ini adalah selain diciptakannya benteng-benteng berbagai bentuk, juga adanya peristiwa-peristiwa pengepungan terhadap benteng-benteng tersebut hal ini tak lepas pula dari kebiasaan masyarakat yang membangun kota-kota dengan dikelilingi benteng, perang semaam ini sangat populer pada zaman pertengahan dan era perang salib.
Dalam perang seperti ini juga diperkenalkan senjata baru yaitu meriam yang digunakan pertama kali oleh Sultan Mohammad II dari Turki Usmani untuk mengepung Konstantinopel, senjata seperti ini prinsip kerjanya hampir sama engan ketapel raksasa seperti yang digunakan Sultan Salahuddin ketika merebut Jerusalem. dapat dikatakan pula bahwa perang jenis ini merupakan salah satu jenis perang yang terkejam karena dengan adanya pengepungan-pengepungan yang dapat berlangsung berbulan-bulan, maka yang terjadi adalah semacam penyiksaan psikis terutama bagi pihak yang bertahan karena harus mempertahankan kota/benteng dengan kondisi kekurangan karena diboikot oleh musuh.

III. Perang Statis
Periode perang semi statis berlangsung cukup lama hingga manusia mengenal senjata api genggam baik itu pistol maupun senapan. Produk pertama senjata apiyang sangat tidak praktis dan membutuhkan waktu lama untuk mengisi ulang amunisi (senjata itu kemudian disebut dengan Musket yang lebih populer untuk berburu daripada perang) terkadang menimbulkan masalah ketika akan digunakan, oleh karena itu dilakukanlah berbagai perbaikan, hingga dihasilkan senjata yang cukup nyaman diopresikan meskipun pada dasarnya masih cukup merepotkan, pada masa itu senjata api masih dianggap barang murahan yang merusak tatanan sportivitas perang karena mampu membunuh lawan dari jarak jauh tanpa peingatan terlebih dahulu, hal ini kemudian memaksa para ahli strategi perang untuk merubah cara berperang dari yang sebelumnya semi agresif menyerang dengan kekuatan besar menjadi lebih statis dengan diam menunggu saat dan waktu yang tepat untuk menyerang.
jenis perang seperti ini terlihat pada saat perang Napoleon, perang kemerdekaan Amerika, hingga yang terakhir perang Dunia I. Dapat dikatakan pada masa itu melihat sebuah peperangan merupakan keunikan tersendiri karena dua barisan tentara saling berhadapan hingga kemudian menembak secara serentak dengan sebuah komando teretentu dan secara bersamaan pula korban tewas pun berjatuhan seperti pohon yang tumbang.
Perbaikan strategi baru terjadi pada masa PD I ketika kemudian diperkenalkan pertahanan sistem parit untuk meminimalisir korban, akan tetapi efek yang dihasilkan menjadi sangat mengerikan, penyakit berkembang alam parit-parit yang kotor dan lembab, siksaan psikis yang berat karena terus berdiam dalam parit dalam waktu lama karena jika mengeluakan sedikit saja angota badan akan dibrondong tembakan hingga tewas, hingga penggunaan gas Chlorin serta Flame thrower untuk memancing pasukan lawan keluar dari parit persembunyian, hal ini memunculkan pemandangan perang yang mengerikan ketika kita melihat mayat mayat bergelimpangan dengan tubuh meleleh karena gas Chlorin atau tubuh hangus sempurna dan hancur karena flame thrower dan berondongan senapan mesin, sehingga tak jarang dijumpai tentara PD I yang mendadak menjadi sakit mental atau stress berat yang kesemuanya diakibatkan karena situasi statis yang menjemukan ditambah dengan perasaan mencekam karena dibayangi oleh serangan gas beracun lawan.